Minggu, 25 Maret 2012
"Lis, mama sabtu mau ke Bogor, mau ke makam popo, jiarah. Mama pergi sama pembantu saja, kamu kasih tahu mama aja jalan kesana bagaimana?" pertanyaan mama malam itu, selepas beliau pengajian jumat malam kepada saya. (22 Maret 2012)
"Mama tidak usah kesana hari Sabtu, nanti minggu saja, saya antar mama ke Bogor", jawab saya. Tapi ma, kita hanya bakar saja yah, tidak ada peribadatan-nya, karena agama kita berbeda, saya mengingatkan kepada mama..
Kiriman dari kuku sudah datang, yaitu tiga buah peti yang terbuat dari kardus, tertutup rapat, berisi uang-uangan yang harus kami bakar di makam Popo (nenek kami) yang dikuburkan di pemakaman Gunung Gadung, Bogor.
Kuku kami yang di Jakarta berkeberatan melakukan ritual tersebut, dan mama sebagai adik terkecil yah mengalah untuk membawa ke-3 peti tersebut ke pemakaman, demi leluhur.
Kenapa seh kita harus melakukan jiarah di minggu ini? Karena menurut kepercayaan Confucius, ini adalah tradisi Ceng beng...
Tradisi ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca : Qing Ming = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun, biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi hujan gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman Dinasti Qin, ziarah makam hanya monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.
Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib. http://www.meandconfucius.com/2011/04/sejarah-asal-mula-perayaan-ceng-beng.html
Jadi, berangkatlah kami (mama, saya, adik2 dan keponakan2 saya) ke Bogor minggu pagi. Kami naik bajaj ke Gambir, dan melanjutkan dengan kereta api ke Bogor. Ini adalah pertama kalinya keponakan saya Fahri (2 tahun) naik kereta. Dia sangat senang, sepanjang jalan dia melihat ke arah jendela, berdiri di kursi, tidak mau di pangku mamanya. Sesampainya di Bogor, kami carter angkot untuk transportasi lokal.
Sesampainya di Gunung Gadung, di depan makam Popo dan Kungkung, kami mulai menaruh buah2an, dan membakar ketiga peti tersebut. Entahlah apakah itu akan sampai kepada leluhur kami atau tidak, karena kami tidak membacakan doa sesuai ritualnya/ibadahnya. Doa yang kami panjatkan adalah sesuai dengan agama dan kepercayaan kami.
Terlepas dari itu semua, jiarah adalah mengingatkan kepada kita semua, bahwa kelak kita pun akan meninggal menghadap Ilahi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar