Rabu, 28 Maret 2012

Gunung Gadung, Jiarah Makam Popo (Apo)

Minggu, 25 Maret 2012

"Lis, mama sabtu mau ke Bogor, mau ke makam popo, jiarah. Mama pergi sama pembantu saja, kamu kasih tahu mama aja jalan kesana bagaimana?" pertanyaan mama malam itu, selepas beliau pengajian jumat malam kepada saya. (22 Maret 2012)
"Mama tidak usah kesana hari Sabtu, nanti minggu saja, saya antar mama ke Bogor", jawab saya. Tapi ma, kita hanya bakar saja yah, tidak ada peribadatan-nya, karena agama kita berbeda, saya mengingatkan kepada mama..

Kiriman dari kuku sudah datang, yaitu tiga buah peti yang terbuat dari kardus, tertutup rapat, berisi uang-uangan yang harus kami bakar di makam Popo (nenek kami) yang dikuburkan di pemakaman Gunung Gadung, Bogor.
Kuku kami yang di Jakarta berkeberatan melakukan ritual tersebut, dan mama sebagai adik terkecil yah mengalah untuk membawa ke-3 peti tersebut ke pemakaman, demi leluhur.

Kenapa seh kita harus melakukan jiarah di minggu ini? Karena menurut kepercayaan Confucius, ini adalah tradisi Ceng beng...

Tradisi ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca : Qing Ming = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun, biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi hujan gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman Dinasti Qin, ziarah makam hanya monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.

Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib. http://www.meandconfucius.com/2011/04/sejarah-asal-mula-perayaan-ceng-beng.html

Jadi, berangkatlah kami (mama, saya, adik2 dan keponakan2 saya) ke Bogor minggu pagi. Kami naik bajaj ke Gambir, dan melanjutkan dengan kereta api ke Bogor. Ini adalah pertama kalinya keponakan saya Fahri (2 tahun) naik kereta. Dia sangat senang, sepanjang jalan dia melihat ke arah jendela, berdiri di kursi, tidak mau di pangku mamanya. Sesampainya di Bogor, kami carter angkot untuk transportasi lokal.
Sesampainya di Gunung Gadung, di depan makam Popo dan Kungkung, kami mulai menaruh buah2an, dan membakar ketiga peti tersebut. Entahlah apakah itu akan sampai kepada leluhur kami atau tidak, karena kami tidak membacakan doa sesuai ritualnya/ibadahnya. Doa yang kami panjatkan adalah sesuai dengan agama dan kepercayaan kami.

Terlepas dari itu semua, jiarah adalah mengingatkan kepada kita semua, bahwa kelak kita pun akan meninggal menghadap Ilahi..

Rabu, 14 Maret 2012

Keluarga Harta Tak Ternilai

Renungan hari ini..

Bill Havens, seorang pendayung hebat berkaliber Internasional dalam masa karantinanya menjelang piala dunia mendayung, menerima berita bahwa istrinya akan segera melahirkan. Setelah mendengar kabar tersebut ia memilih untuk pulang & tidak mengikuti kejuaraan dunia & memutuskan untuk menunggui istrinya yg akan melahirkan.
Belasan tahun kemudian th 1952, Bill menerima telegram dari putranya, Frank yang pada saat itu baru saja memenangkan medali emas cano 10.000 meter pada Olimpiade di Finlandia.

Telegram itu isinya:
"Ayah, terimakasih karena telah menunggu kelahiran saya. Saya akan pulang membawa medali emas yg seharusnya ayah menangkan beberapa tahun yg lalu.
Anakmu tersayang, Frank..."

Dari kisah diatas kita bisa belajar bagaimana kehadiran keluarga berdampak sangat besar bagi anggota keluarga tersebut.

Theodore Roosevelt, mantan Presiden AS berkata: "Aku lebih suka melewatkan waktu bersama dgn keluargaku daripada dgn petinggi2 dunia manapun.
Michael Dell(pendiri Dell computer): KebahagiAan sy adalah ketika sy berada di tengah keluarga,sy berusaha menyeimbangkan waktu kerja dgg waktu kell,walau kel tetap priotasnya,sy kembali dr kerja ke rmh maks pk 18,,
Pada akhirnya kita akan sampai pada suatu titik dimana pada dasarnya semua yg kita lakukan, semua jerih lelah kita dalam pekerjaan,semua untuk mereka,
keluarga yang kita cintai dan kebersamaan diantara keluarga adalah segalanya.

Jadi relakah kita menukar kehangatan keluarga dgn misi bekerja yg tidak nyata?
Selalu ada hasil yg terbaik dari kerja keras yg terbaik pula.

Jika kita Penjual : Keluarga adalah konsumen utama kita.

Jika kita Karyawan : Keluarga adalah boss kita yg sesungguhnya

Jika kita Investor : Investasi yg paling berharga adalah nilai2 yg ditanam dlm Keluarga kita.

Pastikan ketika kita di posisi puncak gunung kesuksesan, kita mengibarkan bendera kemenangan dgn pelukan keluarga di sekitar kita, dan bukan dalam keadaan mereka tertinggal di bawah sambil mereka menangis krn kehilangan kita.

sumber: alumnippm@yahoogroups.com

Senin, 12 Maret 2012

Nice article to read from Kompas Female

5 Kalimat Terlarang Untuk Si Lajang
Christina Andhika Setyanti | Dini | Selasa, 13 Maret 2012 | 10:03 WIB


KOMPAS.com - Anda mungkin pernah bertindak sebagai mak comblang untuk teman atau saudara-saudara yang masih lajang. Hal ini kerap didasari rasa prihatin karena mereka tak juga mendapat pasangan. Ketika teman atau saudara ini curhat tentang masalah mereka sebagai jomblo, berbagai kata penghiburan pun segera meluncur dari mulut Anda.

Akan tetapi, hati-hatilah dengan perkataan dan tindakan Anda. Salah-salah, Anda justru membuat mereka menjadi tertekan. Mungkin Anda tak menyadarinya, namun kata-kata berikut ini sebaiknya dihindari ketika berbicara tentang status lajang mereka.

1. "Saya punya teman yang cocok untukmu!"
Tak ada yang salah untuk menjodohkan teman yang masih lajang. Namun ketika mengucapkan kalimat seperti ini, mereka menjadi sangat berharap untuk segera bertemu seseorang dan menjadikannya pasangan. Sebelum mengucapkan kalimat tersebut pada teman Anda, pastikan dulu pria yang akan Anda jodohkan pada teman ini juga masih lajang. Memang menyenangkan bila melihat bahwa mereka tampak memiliki kecocokan. Tetapi jika pria yang akan Anda jodohkan ini ternyata sudah punya pasangan (tanpa Anda ketahui), teman Anda tentu akan merasa kecewa.

2. "Kamu nggak kesepian?"
Semua orang pasti senang ketika memiliki pasangan, namun menjadi lajang tidak selalu menyedihkan. Hindari pertanyaan tersebut, apalagi sambil menatap matanya dengan penuh rasa simpati. Hal itu akan menimbulkan perasaan tak percaya, bahkan bisa menyinggung perasaannya. Berjanjilah untuk tidak menanyakan tentang kebahagiaannya menjadi lajang, dan hargailah apa yang menjadi keyakinannya. Tidak semua orang bisa cepat mendapatkan pasangan seperti Anda, maka pahamilah perasaannya. Sadari bahwa setiap orang memiliki jalan hidup dan kebahagiaannya masing-masing.

3. "Hidupmu kayak sinetron aja."
Ketika melihat perjalanan hidup teman yang lajang, dan jatuh-bangunnya dalam urusan percintaan, seringkali kita menyamakannya dengan kisah berliku-liku dari sebuah sinetron. Tak jarang, Anda justru menantikan kegilaan-kegilaan yang dialaminya selama menjadi lajang, dan berbagai peristiwa yang sulit dipercaya dari pria-pria yang pernah dikencaninya. Jangan lakukan ini, ia bisa tersinggung karena Anda menganggap kisah hidupnya bagaikan cerita sinetron yang menghibur untuk orang lain.

4. "Kamu sih, pilih-pilih!"
Ketika ingin mengungkapkan berbagai kata penghiburan, sebaiknya tempatkan diri Anda sebagai dirinya. Apa yang akan Anda rasakan ketika sahabat justru sok memberikan tuduhan atau saran yang tak perlu seperti, "Kamu sih, terlalu picky!", "Makanya, lebih banyak bergaul dong!", "Semuanya akan terjadi waktu kamu tidak mengharapkannya", atau, "Sabar ya, nanti juga pasti ketemu". Semua kalimat ini akan terasa seperti basa-basi, dan tidak menghibur sama sekali. Selain teman Anda mungkin sudah sering mendengarnya, belum tentu yang Anda tuduhkan itu benar.



Sumber: Shine

Rabu, 07 Maret 2012

Sebuah Renungan, kiriman dari email teman..

Apakah Anak-ku harus rangking 1?
Si Ranking 23 : “Aku ingin menjadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan”
Di kelasnya terdapat 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun ternyata anak kami menerimanya dengan senang hati.

Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak kami rangking nomor 23 dan tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya begitu bersinar-sinar.

Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati kepada anak kami: “Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?” Anak kami menjawab: “Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian yang luar biasa”. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan bahwa kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.
Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sangat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK?

Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya.
Anak kami juga sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu tidak dilakukan lagi.
Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat semakin kurus. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku kondisinya semakin pucat saja.
Apalagi, setiap kali akan menghadapi ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi tekanan, dan membantunya tumbuh normal.

Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram damai kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek.
Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan berebut sebuah kue beras yang di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara yang sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.
Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing.
Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya.
Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.
Alasannya pun sangat beragam : antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris.
Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja.
Dia memberi pujian: “Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.

Saya bercanda pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Dia pun pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.
Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga.
Dalam hatiku pun terasa hangat seketika.
Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini.

Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang gemar membantu, tetangga yang ramah dan baik.
Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas?
Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi?
Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah
Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat
, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
- Khalil Gibran