Good article to read....
Never burn your
bridges!
Oleh Anthony Dio
Martin
Published On: 29 July
2011
Istilah ‘never burn your
bridges’ sebenarnya berasal
dari sebuah kisah motivasional yang terkenal. Konon katanya ada seorang
jenderal perang yang membuat sebuah jembatan besar sehingga bisa sampai ke
pihak musuh.
Namun, agar para
serdadunya berperang secara maksimal, maka setelah jembatan itu selesai dan
dilewati, jembatan itu pun dibakar. Dengan demikian para serdadu hanya punya
satu pilihan yakni bertempur sampai titik darah penghabisan sebab tidak ada
lagi jembatan untuk kembali.
Tentu saja versi dari
kisah dan legenda ini ada banyak sekali. Ada yang mengatakan bahwa yang dibakar
bukanlah jembatan tetapi kapal-kapalnya. Mana yang benar? Kita tidak tahu.
Namun, kali ini, kita memang bukan bicara soal kapal ataupun jembatan tetapi
soal merawat hubungan.
Pesan kita kali ini
cukup bermakna. Janganlah kita membakar jembatan yang pernah kita lewati. Atau
dengan kata lain, jangan kita merusak suatu hubungan yang pernah kita bangun.
Mungkin saja jembatan itu pernah mengantar Anda ke suatu titik tertentu dalam
perjalanan hidup Anda, tetapi janganlah sekali-kali Anda membakarnya. Anda
tidak pernah tahu, apakah suatu ketika, Anda akan membutuhkannya lagi.
Sebut saja pengalaman
dua orang, Alex dan Wani. Tatkala bekerja di suatu perusahaan nasional
terkemuka di Indonesia, Alex bekerja dengan gigih. Ia pun sangat dipercaya.
Suatu ketika, Alex memutuskan untuk melanjutkan studinya. Namun, hubungan
dengan pimpinannya dulu tetap dijaga. Ia tetap bersikap baik, meskipun ia bukan
lagi karyawan di perusahaan itu. Akhirnya, ketika Alex selesai kuliah, justru
Alex diminta untuk memimpin perusahaannya di kota di luar negeri di mana Alex
menyelesaikan studinya. Inilah berkat ketekunan Alex menjaga hubungan dengan
perusahaannya terdahulu.
Kisah yang lain
terjadi dengan Wani. Wani adalah wanita yang cemerlang dan hebat. Ia bekerja di
sebuah grup perusahaan terkemuka di Indonesia. Kapasitas dan kemampuan kerjanya
pun luar biasa. Karirnya melonjak. Hingga akhirnya, Wani ‘dibajak’ oleh
perusahaan kompetitor. Di perusahaan yang baru, Wani agaknya tidak berterima
kasih pada perusahaan sebelumnya. Wani sering menjelekkan dan mengatakan hal
yang negatif tentang perusahaannya yang dulu.
Setelah bertahun-tahun
di tempat yang baru, ternyata perusahaan Wani diakuisisi, alias dibeli. Siapa
yang beli? Grup perusahaan Wani bekerja sebelumnya. Oleh karena komentar Wani
yang tidak menyenangkan yang pernah didengar perusahaan sebelumnya, Wani pun
tidak termasuk pimpinan yang dipilih untuk diteruskan masa kerjanya. Wani
dipaksa untuk berhenti setelah perusahaannya dibeli.
Begitulah perbedaan
sikap antara Alex dan Wani, yang ternyata berujung pada masa depan mereka. Alex
menjaga hubungannya dengan perusahaan dan orang yang telah membesarkannya.
Sementara Wani, bersikap negatif. Dengan kata lain, Alex masih merawat jembatan
yang dilewatinya, sementara Wani membakar jembatan yang telah dilewatinya.
Itulah kesalahan Wani.
Bersyukurlah
Intinya, tunjukkanlah
kita bisa lebih baik dengan sikap terima kasih kita. Mungkin saja, jembatan
yang pernah Anda lewati tersebut tidaklah menyenangkan. Bisa jadi jembatan itu
berupa atasan yang menyebalkan, tempat kerja yang memuakkan. Ingatlah tidak ada
yang sempurna. Namun, kalau kita lihat ke belakang, apa pun yang kita raih dan
capai hingga saat ini, mungkin saja tidak bisa tercapai tanpa adanya jembatan
tersebut.
Jadi, belajarlah untuk
bersyukur dan berterima kasih sekaligus berjanji. Janji untuk tidak menjadi
jembatan yang seperti Anda alami. Namun, untuk itu Anda tidak perlu memaki
ataupun menjelek-jelekkan. Hargai jembatan yang dulu pernah kita lewati,
belajarlah respek. Inilah tanda kebesaran jiwa yang luar biasa.
Tony Hoyt, mantan
Wakil Presiden di Hearst Corporation yang bergerak di bidang media, mempunyai
kalimat yang penting tatkala ia mengatakan, “Never burn your birdge.
Don’t even spray graffiti on them. So, when you exit always
do so with grace and appreciation.” (Jangan pernah membakar jembatanmu. Bahkan jangan
mencoret-coretinya. Jadi, ketika kamu keluar, selalu lakukanlah dengan
penghargaan dan terima kasih.”)
Betullah kata Tony
Hoyt di atas. Sejarah hidup itu tidaklah selesai setelah kita meninggalkan
jembatan itu. Siapa tahu kelak kita terpaksa harus melewati lagi jembatan itu
kedua kalinya untuk ke arah masa depan kita…
Rawatlah jembatan
Hidup itu masih terus
bergerak. Mungkin saja suatu jembatan telah membawa dan mengantar kita ke suatu
tahapan hidup kita yang berikutnya. Namun, salah besar jika lantaran kita
merasa tidak memerlukan suatu jembatan lagi, lantas kita mulai memusuhi, memaki
ataupun membenci jembatan yang pernah membawa diri kita. Inilah beberapa alasan
mengapa tidak bijaksana bagi kita untuk membakar jembatan yang pernah mengantar
kita.
Pertama,
kita tidak pernah bisa meramalkan masa depan. Setelah kita melewati suatu
jembatan, mungkin kita meresa tidak membutuhkannya lagi saat ini. Namun, kita
tidak pernah tahu apakah kita akan memerlukan jembatan itu pada masa depan kita
nanti. Banyak kisah yang menceritakan bagaimana seorang karyawan yang menjaga
hubungan baik dengan perusahaannya dulu, akhirnya sekarang menjadi supplier penting di perusahaannya.
Coba saja kalau si
karyawan itu tidak menjaga hubungan yang baik, tentu saja ia tidak akan
dipercaya menjadi supplier. Kita pun tidak pernah tahu, bahwa bisa saja jembatan ‘bos’
yang mengantarkan kita sekarang, akan kita butuhkan referensinya bagi bisnis
kita pada masa mendatang. Karena itulah, selalu bijaksana jika setelah melewati
suatu jembatan, jangan kita bakar. Mari kita tetap merawatnya.
Kedua, jangan pernah
menciptakan musuh. Ada sebuah pepatah bagus yang mengatakan, “Seribu teman tak
pernah cukup, satu musuh terlalu banyak!” Pepatah ini mengatakan tidak ada
baiknya kita membakar jembatan yang pernah menjadi pengantar kehidupan kita.
Jembatan itu bisa berupa organisasi ataupun orang. Tatkala kita mulai
menjelekkan organisasi yang pernah membesarkan kita, tatkala kita mulai
merendahkan, memaki, ataupun ‘membuat status’ yang menjelekkan bekas ‘jembatan’
kita berarti kita sedang menciptakan musuh. Kalaulah perusahaan ataupun atasan
kita tidak menyenangkan dan tidak Anda sukai, toh Anda sudah tidak lagi berhubungan dengannya.
Tidak ada gunanya bagi Anda untuk menjelekkannya, sebab hal itu tak memberikan
manfaat apa pun juga.
Ketiga, ketika membakar
jembatan Anda, Anda juga mencela diri Anda sendiri. Tatkala Anda membakar kapal
dengan cara menjelekkan ataupun membicarakan hal yang buruk tentang perusahaan
tempat Anda bekerja sebelumnya, coba tebak bagaimana pendapat orang? Dalam hati
mereka mungkin akan berkata pada diri Anda, “Salah sendiri kenapa dulu mau
bekerja di situ dan sekarang jelek-jelekkan dia?” Tanpa sadar, tatkala
menunjukkan kejelekan perusahaan, orang ataupun tempat yang pernah Anda lewati,
Anda sebenarnya justru sedang menunjukkan kesalahan dan kebodohan Anda sendiri
yang dulunya memutuskan untuk melewati jembatan tersebut!
As Gary Smalley say: “Life is relationships; the rest is just details.”
Make a good relationship with everyone :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar